Hidup itu ngga bisa ditebak ya, apa yang kita rencanakan kadang tidak bisa berjalan sesuai keinginan tapi yang kita hiraukan justru mengubah roda kehidupan. Kalau kata Nadin "Bun, hidup berjalan seperti bajingan" dan ini adalah kisah dimana tulang rusuk dan tulang punggung.
Aku akan flashback ke tahun 2022, dimana semua bermula. Awal tahun ini harusnya menjadi momentum yang menggembirakan untukku karena bisa melanjutkan karir di tempat baru dari yang sebelumnya berdarah-darah. Ku pikir ini menjadi pertanda yang baik di tahun itu, mengingat fasilitas yang didapat dan waktu bekerja yang lebih manusiawi. Akhirnya aku merasakan bekerja dengan damai dan senang.
Tapi ternyata kedamaian itu tidak berlangsung lama. Bukan karena pekerjaanku, tapi karena suamiku ada satu dan lain hal di pekerjaannya hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti. Apakah sudah memikirkan matang kedepannya? Tentu belum, tapi kami mencoba bersama mencari solusi.
Tepat bulan April, suamiku berhenti bekerja kantoran. Namun kami sudah berencana untuk membuka usaha dari bulan sebelumnya. Suami mencoba berjualan aneka minuman. Kami menargetkan untuk dapat momen bulan puasa. Awalnya kami optimis dengan hasil penjualan di awal, namun semakin hari mulai pesimis karena hasil tidak sesuai target ditambah faktor eksternal seperti hujan menjelang waktu berbuka puasa.
Aku sempat turun tangan awal berjualan, namun setelahnya aku ngga banyak membantu karena aku pun WFH. Aku lihat betapa berjuangnya suamiku, dari pagi setelah sahur sudah belanja ke pasar untuk menyiapkan dagangan walaupun jualan mulai siang hari. Pulang kadang sudah hampir jam 9 malam.
Sebenarnya sebelum memulai usaha pun aku sudah coba jelaskan kemungkinan pahit yang bisa terjadi. Aku yang terlalu skeptis ini disatukan dengan orang yang terlalu optimis. Akhirnya aku harus tega melihatnya berdarah agar dia tidak keras kepala. Semua itu adalah pembelajaran untuk kami dan ada harga yang harus direlakan.
Aku yang ngga tega melihat dia jungkir balik namun hasilnya ngga sepadan akhirnya meminta dia beristirahat saja sembari mencari pekerjaan kantoran lagi. Memang kalau berniaga ada turun dan naik, tapi kami memutuskan untuk berhenti supaya tidak tambah merugi dan pertimbangan finansial juga. Kurang lebih hanya berjalan 3 bulan usaha tersebut dan ya harus ikhlas dengan semuanya.
Semenjak suami berhenti kerja kantoran dan mulai usaha, bisa dibilang peranku berubah menjadi tulang punggung. Apakah aku sedih? Sebagai manusia biasa tentu ada sedikit kesedihan, tapi aku tetap bersyukur dengan apa yang aku dapat dan miliki.
Cobaan wanita adalah ketika tidak memiliki harta, sedangkan laki-laki akan dicoba dengan harta, tahta, dan wanita. Bagaimanapun dia adalah suamiku, imamku dan aku tetap rulang rusuknya. Walaupun saat itu dia tidak berpenghasilan, aku harus tetap menghormati dan menghargainya.
Dalam masa sulit itu, kami jadi banyak menghabiskan waktu bersama dari mulai melakukan perkerjaan rumah, memasak, hingga sering berolahraga. Saat aku harus WFO pun jadi bisa diantar-jemput suami. Selain bersamaku, dia juga jadi lebih banyak waktu untuk orangtuanya.
Alhamdulillah, walaupun hanya aku yang bekerja tapi kami tidak kekurangan sesuatu apapun persis dengan doa yang selalu kuucapkan setelah sholat. "Dibalik kesulitan pasti ada keberkahan". Qadarullah, bulan Agustus jadi bulan yang membahagiakan karena akhirnya aku hamil setelah menunggu 3 tahun pernikahan. Namun kebahagiaan kami masih terselip rasa khawatir akan kondisi finansial. Beruntunglah ada asuransi dari kantorku yang cukup membantu.
Memang jalan Allah membuat suamiku berada selalu dekat denganku. Awal kehamilanku sangatlah berat, mulai dari HeG yang membuatku susah makan sampai kena DBD. Suamiku tentu yang senantiasa merawatku, bahkan segala pekerjaan rumah dia yang kerjakan. Ngga kebayang kalau harus mengurus diri sendiri.
Seiring berjalan waktu dan usia kandungan semakin besar, tentu ada kekhawatiran darinya akan biaya persalinan dan keinginannya juga untuk menafkahiku. Kami pun harus mencari alternatif tempat kontrol kehamilan dan melahirkan mengingat di RS Swasta biayanya cukup besar. Kebetulan ada temannya yang bidan merekomendasikan klinik di daerah Pasar Rebo dan setelah coba kontrol di sana juga bagus.
Ngga bisa dipungkiri, masalah finansial dalam rumah tangga pasti sangat mengganggu pikiran. Apalagi suamiku yang merasa harusnya dia lah tulang punggung. Begitu banyak pekerjaan yang dia lamar dan hanya beberapa yang mendapat kesempatan interview. Namun hasilnya juga belum ada yang menerimanya.
Aku lagi-lagi harus melihat dia sedih bahkan dia sempat putus asa, rasanya aku hancur juga. Aku hanya bisa memberikan dia waktu dan tetap menemani melewati titik rendah itu. Aku ngga pernah menuntut dia untuk segera bekerja, setelah tahu seberapa besar perjuangannya mencari kerja. Ketika dia ikhtiar, aku cuma bisa mendoakan. Walau dalam doa sebenarnya aku juga ingin dia segera bekerja karena bagaimanapun kondisi keuangan mulai terasa berat.
Ketika itu yang ada dipikirannya adalah bekerja, dimana saja yang penting bisa kerja. Rupanya Allah mendengar doa di antara sujudku untuk tulang punggungku. Akhirnya setelah hampir setahun tidak kerja kantoran, ada hasil yang didapatkan yaitu tawaran kerja di Palembang dan Bandung. Begitu bahagia terukir di wajahnya, aku pun turut bahagia. Tapi aku jadi sedih mengingat apapun yang dia pilih berarti harus menjalani LDM.
Di kehamilanku yang memasuki trimester akhir, kami pun harus terpisah jarak demi mencari rezeki untuk calon buah hati. Mungkin memang ini sudah jalannya untuk kami, ujian tentang materi sudah terlewati kini berganti ujian tentang jarak. Doaku selalu menyertainya dimanapun dia berada semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Semoga keluarga kami bisa selalu jadi sakinah, mawadah, warahmah, dan dapat melewati segala suka-duka yang masih jadi rahasia lillahi ta'ala.
Teruntuk para perempuan dan istri, semangat kalau kalian sedang berada di posisi harus menjadi tulang punggung. Melahirkan yang bagai patah 20 tulang saja kita mampu, jadi kita pasti mampu juga menjadi penopang hidup. SEMANGATTTTTT :)